Caleg Stres dan Stroke Pasca Hari-H Pemilu 2009


Tulisan ringan ini bukan untuk menakut-nakuti dan menciutkan nyali para Calon Legislatif (Caleg) 2009 yang akan berlaga di Hari-H Pemilu Legisltaif pada 9 April 2009. Justru sebaliknya, dimaksudkan untuk membesarkan & menguatkan hati para caleg pada hari-hari ini yang tengah mengimplementasikan segala strategi dan taktiknya di lapangan.

Seperti kita ketahui bersama, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materi mengenai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di mana calon terpilih didasarkan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut.

Konsekuensi dari keputusan tersebut,  partai-partai politik yang belum menerapkan sistem sebagaimana putusan MK di atas agak kelabakan. Lebih-lebih para calon legislatifnya. Mereka yang tadinya sudah melihat di pelupuk mata akan melenggang mulus ke gedung DPR, DPD atau DPRD harus bekerja dan berusaha lebih keras lagi. Sebab apabila bersantai-santai dan sedikit lengah, ‘gajah yang di pelupuk mata’ itu akan menjadi ‘kuman di seberang lautan’ alias ‘bablas’ jatah kursinya. Dengan sistem calon terpilih didasarkan suara terbanyak, maka mau tidak mau dan suka atau tidak suka mengharuskan para caleg rajin menyapa calon pemilih.

Untuk dapat rajin menyapa calon pemilih diperlukan adanya modal atau biaya (pepatah Jawa: jer basuki mawa beo). Sekurang-kurangnya biaya untuk transportasi, telekomunikasi dan akomodasi. Tetapi tidak mungkin kan, setelah caleg bertemu dengan calon pemilih hanya dengan tebar pesona dan janji-janji saja. Dan jauh hari sebelumnya, para caleg pasti telah menyiapkan ‘dana politik’  untuk daerah pemilihannya.

Dana politik yang telah dianggarkan dapat membengkak berkali-kali lipat dari yang diperkirakan sebelumnya. Dana politik itu biasanya dialokasikan untuk transportasi, komunikasi (pulsa handphone/wartel) dan akomodasi, sewa posko, internet (membuat situs/website/jejaring sosial dunia maya), iklan (televisi, radio, media cetak/elektronik/dunia maya), honor team sukses, perizinan-pajak, konsumsi, atribut pemilu dan sebagainya.

Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa biaya-biaya politik di atas bisa mencapaai ratusan juta hingga milyar rupiah apabila menjadi calon legislatif DPR atau DPD. Semakin jenjang pencalegan ke bawah, biaya politik juga menurun. Namun tetap tidak bisa dikatakan murah, sekalipun untuk Caleg DPRD Kabupaten/Kota.

Saya jadi membayangkan betapa susah dan sulit serta high cost bagi  usaha-usaha para caleg menemui dan bersilaturahmi ke calon pemilih di daerah pemilihan luar Pulau Jawa. Apalagi yang luas dapilnya meliputi satu provinsi, dengan beberapa kabupaten didalamnya. Untuk menyapa calon pemilih di pedalaman Kalimantan Tengah, misalnya, berapa sungai dan anak sungai yang mesti dilewati dengan jarak berpuluh-puluh kilometer panjangnya. Dari satu pemukiman penduduk ke pemukiman penduduk terdekatnya saja, sudah harus mengeluarkan berliter-liter solar untuk perahu, sampan atau speedboat yang disewanya. Belum biaya lainnya.

Demi untuk meraih suara, banyak caleg di daerah pemilihan dengan pulau-pulau kecil yang sambung menyambung rela berterik-terik matahari dan pasrah diombang-ambingkan ombak. Di Papua, saya dengar dari penuturan seorang caleg DPR-RI yang harus menyewa pesawat kecil untuk menemui calon pemilihnya. Terbang di atas hutan dengan pucuk-pucuk pepohonan menjulang tinggi, mengarungi lembah-lembah dan ngarai serta bermanuver di antara bukit-bukit dan pegunungan. Suatu usaha luar biasa dengan taruhan nyawa didalamnya.

Di atas usaha-usaha kasat mata di atas, tentu banyak caleg yang mengiringi langkah dan manuver  Pemilu 2009 dengan restu dan doa.  Restu masyarakat, orang tua, sanak keluarga, handai taulan, kyai bahkan paranormal. Bisa jadi pula, hari-hari ini mungkin saja para caleg yang sebelumnya longgar dalam memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa  semakin meningkatkan intensitas doa dan ibadah malamnya. Sesuatu yang manusiawi sifatnya.

Berpijak dari pandangan-pandangan yang saya kemukakan di atas, apabila caleg tidak siap menang atau siap kalah, tidak menyiapkan mental baja dan keimanan kokoh, bukan hal mustahil apabila pasca Hari-H Pemilu 2009 mendatang, kita akan baca di media massa ada caleg yang stres dan stroke akibat kegagalan meraih kursi legislatif.

Pada Pemilu 2004, saya mendapat informasi bahwa ada seorang caleg DPR-RI yang dikejar-kejar hutang oleh pengusaha atribut lantaran belum melunasi order pesanannya. Makanya, belajar dari pengalaman Pemilu 2004 banyak pengusaha atribut saat ini yang maunya ‘Cash and Carry’. Kasihan juga ya, sudah kalah dan tidak jadi anggota legislatif masih terbebani lilitan hutang.

Seorang teman berseloroh, bila menjelang Hari-H Pemilu ada caleg yang gemar mendatangi paranormal, bukan mustahil pasca Pemilu Legislatif berganti mendatangi psikiater. Semoga tidak demikian adanya.

Tunggu dulu! Jangan-jangan, sebelum Hari-H Pemilu Legisltif 2009 saja sudah ada Calon Legislatif yang mengalami stres...

Tentang Dwiki

Simpel dalam menatap hidup dan menapaki kehidupan!
Pos ini dipublikasikan di Pemilu 2009 dan tag , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

4 Balasan ke Caleg Stres dan Stroke Pasca Hari-H Pemilu 2009

  1. bocahbancar berkata:

    Menyimak…

    Mm…Betul juga yaw…
    Salam…

  2. ashim berkata:

    tulisan yang indah

  3. Ping balik: 23 Fakta Tentang Caleg Stres « Dwiki Setiyawan’s Blog

  4. madara uchiha berkata:

    kebanyakan para caleg yang stres tuh karena keinginan untuk jadi anggota dewan yg duduk dikursi kepemerintahan, tidak kesampaian, juga tidak siap klo nanti kalah dalam pemilu.
    Artinya mereka siap menang tapi tidak siap untuk kalah,….
    beban moral yg berat karena kampanye, juga berpengaruh dalam jiwa sang caleg yg dah miring otaknya.

    moga2 kita dpt mengambil pelajaran dari kenyataan ini.

Tinggalkan komentar