Gimana… Ngamen Kok Nggak Hapal Lagu?


Pengamen di Bonbin Ragunan (dwiki file)

Pengamen di Bonbin Ragunan (dwiki file)

“GIMANA dik, anda ngamen kan untuk menghibur. Kok nggak hapal lagu?” Demikian ungkapan hati dan pertanyaan saya pada beberapa anak muda belia yang tengah ngamen di depan pintu gerbang rumah. Soalnya, kepada pengamen dengan alat musik lengkap itu saya meminta untuk menghibur saya dan keluarga sebanyak 10 buah lagu berturut-turut. Belum 5 lagu, mereka sudah menyerah. Sampai saya berkelakar pada mereka, “Ya sudah, nyanyi lagu-lagu anak mulai dari “Bintang Kecil”, “Pelangi-pelangi”, “Balonku” dan seterusnya pun boleh.”

Yang terjadi kemudian, mereka menyanyikan lagu anak-anak itu. Dan saya pun terus terang tidak bisa menahan tawa lantaran mereka membawakannya dengan malu-malu. Anak terkecil saya saat itu yang masih berumur 2 tahun pun malahan ikut menirukan lirik lagu yang dibawakan. Bahkan karena cukup gaduh dengan suara bas yang bunyinya “genjrang-genjreng”, anak-anak tetangga ikut mengerubunginya.

Tidak lupa, kepada mereka saya minta istri menyediakan air putih dingin beserta sirup. Setelah menyanyi lumayan agak lama, mereka semua menenggak minuman yang telah disediakan. “Baru kali ini Pak, ada yang minta menyanyikan lagu hingga 10 buah sekaligus,” kata salah satu dari mereka. “Makanya, sebelum ngamen itu harus disiapkan dulu lagu-lagu apa yang akan dibawakannya,” ujar saya diiringi “cengengesan” mereka.

Perlu juga diketahui setiap hari ada saja pengamen –sendirian atau berombongan– yang mendatangi rumah. Mulai dari yang membawa alat musik  gitar, bas, bekas botol minuman berisi beras hingga yang tidak membawa alat musik apapun.

Pernah pula didatangi 3 orang pengamen dengan berpakaian adat Jawa lengkap. Yang laki-laki memakai setelan jas berblangkon, sedang perempuannya memakai kebaya dengan rambut bersanggul. Alat musiknya, 2 buah alat gamelan berupa gambang dan rebab. Dibawakan oleh 2 laki-laki, sedang si perempuannya sebagai penyanyi atau sinden.

Saya minta dibawakan lagu “Yen Ing Tawang Ono Lintang” dan “Ande-ande Lumut“. Dan mereka mampu membawakannya dengan sangat baik. Untuk pengamen semacam ini, saya tidak ragu-ragu merogok kocek agak banyak sebagai apresiasi kepada mereka. Mengingatkan masa-masa kecil saya di sebuah pedesaan di Klaten. Saat itu belum ada VCD atau DVD. Orang-orang desa memutarnya memakai kaset, dan suara yang keluar dari speaker sengaja dengan volume cukup keras. Sehingga terkadang, dari pematang persawahan yang agak jauh dari desa terdekat, alunan lagu itu terdengar sayup-sayup. Merdu dan melenakan…

***

Saya sendiri berpandangan, bahwa mengamen itu suatu profesi. Bukan selingan hanya untuk mendapatkan sekedar “uang rokok” atau foya-foya pengamennya. Sebagai suatu profesi, tentunya bagi pengamen sendiri dituntut untuk memperkaya khazanah lagu-lagu yang akan dibawakannya kepada publik. Dari satu rumah ke rumah lainnya, panggung satu ke panggung lainya, dan angkutan umum satu ke angkutan umum lainnya.

Di angkutan umum mikrolet, saya pernah bersitegang dengan seorang pengamen. Sebelum menyanyi, ia “berpidato” bila baru saja keluar dari penjara karena suatu kasus pembunuhan. Dan blablabla lainnya.

Lantas ia menyanyi dengan diiringi alat musik botol bekas minuman berisi beras. Baru beberapa baris lagu dinyanyikan, ia sudahi nyanyinya dengan sedikit “memaksa” penumpang memberi uang jasa. Tangan kanan si pengamen itu menengadah persis dihadapan saya. Saya hanya bilang, “Kalau lagunya tadi diselesaikan hingga lirik terakhir, akan saya beri. Karena hanya sepenggal, mohon maaf Mas.” Di luar dugaan, ia mengumpat dan marah-marah sembari matanya tajam menatap saya. Untungnya, ada seorang bapak muda yang duduk di samping sopir “membela” saya dan membentaknya untuk segera turun dari mikrolet.

Tatkala lagu “Munajat Cinta” dari The Rock yang dibawakan Ahmad Dhani “booming” hampir semua pengamen yang mendatangi rumah saya menyanyikan lagu tersebut.

The Rock feat Ahmad Dhani

Munajat Cinta


Malam Ini Kusendiri
Tak Ada Yang Menemani
Seperti Malam Malam
Yang Sudah Sudah

Hati Ini Selalu Sepi
Tak Ada Yang Menghiasi
Seperti Cinta Ini
Yang Slalu Pupus

Reff :

Tuhan Kirimkanlah Aku
Kekasih Yang Baik Hati
Yang Mencintai Aku
Apa Adanya…

Mawar Ini Semakin Layu
Tak Ada Yang Memiliki
Seperti Aku Ini
Semakin Pupus…


Back To Reff

Ada seorang pengamen datang dengan menyanyi lagu di atas. Ternyata lirik-lirik yang dinyanyikan ada yang salah. Seharusnya, “Seperti cintai ini yang slalu pupus.” Kata pupus menjadi putus. Beda-beda dikit masih ditoleransi lah.

Setelah berlalu, saya minta anak kedua, Kevin, untuk menguntit pengamen itu beberapa saat. Begitu pulang ia lapor, “Yah, pengamennya payah. Lagu yang dinyanyikan Munajat Cinta melulu….” Ha..ha..ha.

***

Setiap ada pengamen datang dan kebetulan saya ada di rumah, saya menunggu sang pengamen untuk membawakan liirik lagu hingga pamungkas. Tidak pernah, baru sepenggalan bait dinyanyikan langsung saya beri uang jasa. Kepada anak-anak pun,  saya senantiasa menekankan pabila ada pengamen “menyambangi” rumah, jangan memberikan uang jasa sebelum lirik lagu yang dinyanyikan selesai. Tujuannya untuk mendidik anak menghargai sebuah karya seni dan juga mendidik si pengamennya sendiri menambah kualitas kepengamennya.

Berkaitan dengan itu, uang-uang logam receh mulai Rp 100, Rp 200 hingga Rp 500 sisa kembalian belanja saya taruh pada tempat khusus, yang sewaktu-waktu mudah diambil anak untuk diberikan pada pengamen atau pengemis yang datang.

Mendidik anak untuk memperkenalkan dan menghargai sebuah karya seni, hemat saya bisa dilakukan dengan contoh-contoh nyata yang dihadapi keseharian si anak. Pun mengapresiasi sebuah karya seni, misalnya, memberi recehan logam pada pengamen yang datang ke rumah juga bagian dari memupuk kecintaan dan kepedualian anak pada sebuah karya seni.

Bagaimana menurut anda?

*****


Tentang Dwiki

Simpel dalam menatap hidup dan menapaki kehidupan!
Pos ini dipublikasikan di Jejak Langkah dan tag , , , . Tandai permalink.

4 Balasan ke Gimana… Ngamen Kok Nggak Hapal Lagu?

  1. Vicky Laurentina berkata:

    Seumur-umur, baru kali ini saya mengenal orang yang sedemikian apresiatifnya kepada pengamen. Asosiasi pengamen Indonesia mestinya berterima kasih kepada Pak Dwiki, karena begitu besarnya perhatian Pak Dwiki terhadap kualitas kepengamenan. Sayangnya saya rasa tidak akan demikian. Soalnya, pengamen kan nggak punya asosiasi profesi, jadi bagaimana mereka mau berterima kasih? 😛

    • Dwiki Setiyawan berkata:

      Nggak juga Mbak Vicky. Banyak kok orang di luar sana yang punya apresiasi dan kepedulian terhadap nasib rakyat kecil ini. Kalau saya mengapresiasi itu ibaratnya buih di tengah lautan. Syukur-syukur dicamkan dan dijalankan beberapa “nasehat” saya itu. Toh itu juga demi kebaikan mereka. Kita yang merasa taraf kehidupannya lebih sedikit di atas mereka, saya rasa bila memberi masukan, barang satu dua diantara mereka pasti ada yang mendengar dan mau mengubahnya. Tengkiu dah berkunjung ke blog acak-acakan ini. Saya juga segera meluncur ke TKP.

  2. stainless tanks berkata:

    Pasti bapak seorang guru dalam bidang karya seni yah pak?

Tinggalkan komentar